Kudus, Dikuduskan, dan Menguduskan Diri
“Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku” (Imamat 20:26-TB).
Pengudusan umat adalah karya Allah. Ia adalah Allah yang menguduskan atau memisahkan bagi diriNya. Menjadi kudus berarti dipisahkan Allah bagi diriNya. Kekudusan umat merupakan ekspresi atau cerminan dari kekudusan Allah. Allah kudus, maka umat pun kudus. Yang tidak kudus, tidak compatible bagi yang yang kudus.
Umat dikuduskan atau dikhususkan, untuk menjadi milikNya. Dunia atau bangsa-bangsa sudah tercemar oleh dosa, karena itu yang dikuduskan berarti dikhususkan, keluar dari antara yang telah tercemar dosa ini. Kita dibawa keluar untuk menjadi milik Dia, yang tiada tercemar dosa itu.
Sejauh ini, kudus dalam ayat ini bernada status. Okelah, status umat adalah umat yang kudus (karena dikhususkan Allah), lalu…apa?! Ayat tentang status umat ini diingatkan dalam konteks perintah Allah agar umat hidup kudus. Misalnya sebelumnya di ayat 23, “Janganlah kamu hidup menurut kebiasaan bangsa yang akan Kuhalau dari depanmu: karena semuanya itu telah dilakukan mereka, sehingga Aku muak melihat mereka.” Jadi, kekudusan bukan hanya bicara status, tetapi juga proses atau perbuatan. Umat diberi status kudus (dalam hal ini umat pasif), tetapi umat juga harus hidup kudus (dalam hal ini umat aktif).
Bukankah yang sedemikian juga diajarkan Perjanjian Baru perihal Gereja Tuhan? Gereja atau orang percaya adalah sekelompok orang yang diberi status kudus oleh Allah dalam Kristus Yesus, tetapi juga dituntut untuk memraktekkan hidup kudus. Allah kudus, kita dikuduskan, dan kita dituntut hidup kudus atau menguduskan diri.